Jumat, 20 Juni 2014

Pilpres dalam Dilema Aceh

Oleh Ahmad Fauzi


Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 meski hanya ada dua pasangan, tapi memberikan dilema tersendiri bagi masyarakat Aceh. Plus minus keduanya tak jauh beda. Sama-sama pernah bersentuhan dengan konflik Aceh.

.
Sulit menakar kelebihan para calon presiden itu untuk Aceh. Kedua pasangan kandidat memiliki sejarah masa lalu yang kelam bagi Aceh. Tulisan ini bukan untuk menghakimi para Capres dalam kasus, tapi lebih kepada upaya menakar kembali akar sejarah sebagai spion untuk kita berkaca, mana yang terbaik  diantara keduanya.
Pasangan nomor urut pertama Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Pasangan ini di usung oleh gabungan Partai Politik (Koalisi Partai Politik) Gerindra, Golkar, PAN, PKS dan PBB. Prabowo Subianto purnawirawan TNI dan mantan Danjen Kopasus pada akhir-akhir masa Presiden Suharto berkuasa antara tahun 1966 sampai tahun 1998.
Pada masa kejayaan Cendana tersebutlah Aceh diterapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) untuk memusnahkan gerakan separatis yang dinamakan pemerintah RI sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang oleh pendiri dan pemimpin gerakan yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI tersebut diberi nama sebagai Aceh Merdeka (AM). Namun gerakan ini kemudian mengubah nama menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pada masa inilah yaitu rentang waktu antara tahun 1989 sampai 1998 saat penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) ribuan nyawa masyarakat sipil Aceh melayang dan dihilangkan secara paksa tanpa jejak sampai sekarang serta tiada satupun pihak yang bertanggung jawab.
Akibat operasi baret merah ini juga ribuan wanita menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim serta ribuan pelanggaran HAM berat lainnya seperti perkosaan, perampasan harta benda dan penganiayaan yang mengakibatkan cacat fisik dan mental.
Pada sebagian masa itulah Prabowo Subianto menjabat sebagai Danjen Kopassus akibat jabatannya tersebut banyak orang berpendapat sang jendral tidak bisa lepas dari tanggung jawab komando dan menjadikannya salah satu orang yang paling bertanggung jawab dalam sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Rencong.
Mencermati lebih jauh, pada tingkatan pertangungjawaban, saya rasa Prabowo hanya pelaku sebuah kebijakan. Ia hanya menjalankan perintah dari atasan. Artinya Prabowo memang salah satu aktor dalam masa DOM di Aceh, tapi ia bukan sutradara. Di atas Prabowo masih ada Panglima TNI yang lebih bertangung jawab, dan di atasnya lagi ada presiden selaku panglima tinggi.
Meski demikian, sejarah kelam ini membuat masyarakat Aceh galau untuk memilih Prabowo Subianto sebagai pemimpin negri ini untuk lima tahun yang akan datang. Namun di sisi lain Partai lokal yang menguasai parlemen dan Pemerintah Aceh yang notabennya para mantan kombatan jauh-jauh hari telah berkomitmen untuk memenangkan Partai Gerindra di tingkat pusat atau DPR RI serta Prabowo Subianto sebagai Presiden.
Bahkan, Partai Aceh menempatkan ketuanya Tgk Muzakir Manaf yang menjabat Wakil Gubernur Aceh sebagai ketua dewan pembina Partai Gerindra Aceh serta ketua pemenangan Prabowo-Hatta Provinsi Aceh. Memang dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan. Partai Aceh memiliki deal-dealatau konsekuensi tertentu dari dukungan yang diberikan terhadap pasangan itu.
Kemudian pasangan nomor urut dua Joko Widodo dan Jusuf Kala. Pasangan ini diusung oleh gabungan (koalisi) Partai Politik yang di ketuai oleh PDI Perjuangan, koalisi ini terdiri dari PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI.
Jika Prabowo bertanggung jawab antara rentang tahun 1989 sampai 1998, maka Partai pengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sempat berkuasa pasca lengsernya Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian di gantikan oleh sang wakil Megawati Soekarno Putri bertanggung jawab semasa penerapan Darurat Militer di Aceh antara tahun 2002 sampai 2004. Lagi-lagi pada masa ini ribuan nyawa rakyat sipil Aceh melayang, ribuan wanita menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim.
Megawati selaku presiden yang penah berjanji di hadapan ribuan masyarakat Aceh di halaman Mesjid Raya Baiturrahman, kemudian mengingkari janjinya. Megawati berjanji “Jika Cut Nyak jadi Presiden tak akan ada lagi darah yang mengalir di Aceh.”
Ia menyebutkan diri sebagai Cut Nyak, sebutan terhormat masyarakat Aceh. Dengan itu Megawati seolah ingin merebut simpati rakyat Aceh. Tapi apa lacur, kertika Megawati jadi Presiden semua itu ia abaikan. Ia bukan hanya ingkar janji terhadap rakyat Aceh, tapi menambah luka Aceh dengan menerapkan Darurat Militer (DM) di Aceh. Di sinilah tangan Megawati kembali berlumur darah orang Aceh.
Dengan sejumlah fakta tersebut maka sangat wajar jika masyarakat Aceh berada dalam dilema yang besar untuk memilih sosok yang paling tepat pada tanggal  9 Juni mendatang.
Jika kita melihat masa lalu maka tidak ada satupun calon yang layak dipilih oleh masyarakat Aceh. Kedua kubu sama-sama dihuni oleh politisi berlumuran darah masyarakat Aceh. Namun tidak memilih kedua-duanya alias golput juga bukan solusi. Mari kita menimbang-nimbang keduanya, karena kita hanya boleh memilih satu.
Bukan kali ini saja masyarakat Aceh berada dalam posisi dilema ketika ingin memilih Presiden, mari kita lihat saat Pilpres tahun 2004 saat putaran kedua tinggal dua pasangan kandidat yaitu Megawati dan SBY. Pada Pilpres putaran kedua inilah dilema hebat melanda para pemilih di Aceh.
Di satu sisi jika memilih Megawati yang merupakan orang paling bertanggung jawab dalam penerapan Darurat Militer di Aceh, di sisi lain Susilo Bambang Yudhoyono adalah purnawirawan TNI membuat kekhawatiran dan ketakutan masyarakat Aceh jika negri ini di pimpin oleh pensiunan jendral yang umumnya tegas. Dan pada akhirnya pilihan rakyat Aceh jatuh pada sosok SBY yang berhasil memenangkan RI 1 tersebut baik di Aceh maupun secara nasional.
Semua ketakutan dan kekhawatiran masyarakat Aceh terkubur ketika RI dan GAM menandatangani Nota Kesepahaman yang berisikan penyelesaian masalah Aceh dengan cara damai dan bermartabat pada tanggal 15 agustus 2005 di Helsinki Finlandia. Sejak saat itu SBY menjadi sosok yang dihormati di Aceh, dimana setelah lebih dari tiga puluh tahun Aceh dilanda konflik berdarah yang berkepanjangan SBY berhasil membawa angin segar perdamaian di bumi Iskandar Muda.
Kembali ke Pilpres 2014, jika memang tidak ada satupun Capres yang cocok berdasarkan cerminan  masa lalu, maka mari kita pindah ke jendela yang lain, yaitu jendela masa depan. Di antara dua capres ini mana yang lebih memberi pengaruh dan komitmen bagi kemajuan masa depan Aceh.
Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf telah mengatakan bahwa Prabowo akan memberikan perhatian lebih bagi Aceh serta akan menyelesaikan semua turunan UUPA dan Perpres kewenangan Aceh, maka tidak ada salahnya kita mengikuti dan mengiyakan anjuran wagub tersebut. Bahkan Rasulullah juga menyarankan kita untuk patuh pada pemimpin.
Semoga siapapun presiden yang akan terpilih nantinya mengerti tentang keistimewaan Aceh yang telah diakui oleh undang undang dan konstitusi Pemerintah Indonesia, karena dengan begitu damai Aceh akan langeng.[]

Ahmad Fauzi adalah mahasiswa Ilmu Komputer jurusan Sistem Informasi pada Universitas U’budiah Indonesia
Baca selengkapnya »

0 komentar:

Posting Komentar

Adab Sebagian Dari Ilmu, Jadi Komentarilah Dengan Sebaik-baik Bahasa

Copyright © Fauzi Journey 2010

Template By Nano Yulianto